“Di Sayidan di jalanan
Angkat sekali lagi gelasmu kawan
Di Sayidan di jalanan
Tuangkan air kedamaian”
Penggalan lirik lagu “Di Sayidan” oleh Shaggydog (2003) di atas, sangat populer di Indonesia. Penyanyi reggae Maluku pun gemar melantunkannya, dan disukai para muda Maluku.
Nama Sayidan pun seakan tersimpan di hati. Akan tetapi tidak banyak yang tahu, Sayidan punya sejarah emas dengan Maluku. Sayidan adalah salah satu tempat orang-orang diaspora Maluku membuat gerakan politik secara heroik.
Para pejuang yang tadinya ada di berbagai medan pertempuran, tiba-tiba diajak duduk di meja sidang. Musyawarah Besar (Mubes) Masyarakat pernah digelar di Sayidan 2, Yogyakarta, 12-14 Februari 1546.
Pramudya Ananta Toer dkk dalam Buku Kronik Revolusi Indonesia Jilid 2 (1946) menyebutkan, Konferensi Maluku diikuti utusan Maluku dari Jawa-Madura. Ada 54 cabang perkumpulan Maluku, 200 pemuda Ambon hadir di Sayidan 2.
Sejarawan I.O. Nanulaitta dalam buku Mr. Johanes Latuharhary, Hasil Karya dan Pengabdiannya (2009) menggambarkan Mubes Maluku tersebut diselenggarakan dalam suasana “mabuk pertempuran”.
Beginilah ringkasan paparan Nanulaitta tentang Mubes tersebut. Kisahnya, pada bulan Januari 1946, Kantor Gubernur Maluku pindah dari Jakarta ke Yogyakarta, karena pemerintah pusat pindah ke sana. Gubernur Mr Johanes Latuharhary berkantor di Margokridongo 2.
Latuharhary bersama organisasi Angkatan Pemuda Indonesia (API) Ambon secara cepat mempersiapkan Mubes Maluku. Tujuannya untuk konsolidasi perjuangan orang Maluku.
Panitia mengundang seluruh elemen Maluku. Mereka itu para pemuka Maluku, para Kepala Kantor Pembantu Gubernur Maluku, para pemimpin pemuda, dan para komandan di berbagai front.
Sebelum Mubes, datanglah orang Maluku ke Ibukota Revolusi itu. Layskar API-AMBON dari Front Bandung Selatan datang dipimpin Lambert Pelupessy dan Frits Pupella. Mereka membawa sebuah panser. Seorang tawanan Tentara Gurkha dan persenjataan lengkap, juga dibawa sebagai bukti perjuangan melawan Inggris.
Dari Front Surabaya, datang layskar PRI-Maluku dipimpin Sam Malessy, dr. Siwabessy, Mohammad Padang, Kolibonso, Herman Pieters, M. Sapia. Mereka pun membawa persenjataan.
Dilukiskan, rombongan Maluku dari Jawa Timur sungguh menarik perhatian karena keunikannya. Pemuda Mohammad Padang, Sam Malessy, M. Sapia, semuanya berambut gondrong, brewok, jenggot panjang sampai ke perut. Mereka membawa beenkap dan niponto (Pedang Jepang) serta pistol di pinggang.
Hampir semua pemuda front berambut gondrong. Mereka bertekad tidak cukur rambut dan jenggot sebelum Indonesia merdeka seratus persen. Anggota-anggota layskar yang lain bawa senjata lengkap dengan kain berang di kepala.
Kepala-kepala Kantor Pembantu Gubernur Maluku dan para pemuda dengan pemimpin-pemimpinnya berdatangan dari seluruh Jawa dan Sumatera.
Para pemuda dan pemudi AMIM Yogyakarta, ibu-ibu serta om-om sangat sibuk mengatur tempat penginapan, tempat sidang, pengangkutan dan makanan para peserta konperensi.
Pada resepsi pembukaan, 12 Februari 1946 Gedung Saidan 2, bekas gedung Balai Pemuda Protestan yang didekorasi semarak. Intelijen datang memeriksa semua sudut gedung dan mengamankan ruang resepsi, karena Presiden Sukarno akan hadir.
Sekitar jam 6.00 sore, layskar Maluku mengadakan “show of force” di Kota Yogyakarta. Dari Margokridonggo 2, mereka bergerak di depan sebuah panser penuh dengan para pejuang Maluku, diikuti oleh sedan Gubernur Maluku dan isteri. Di atas mobil dipasang pom-pom 12,7 mm.
Di samping sedan, berlari-lari pasukan bersenjata, badan berbelit pelor, kepala berikat kain berang, berambut gondrong.
Rombongan bergerak perlahan-lahan melalui Malioboro menuju ke Saidan 2. Rakyat sepanjang jalan berdiri menonton dan bertanya-tanya.
“Ada apa?”
“Tentara mana?”
Ada yang bilang, “itu tentara Ambon!”
“Kok, tentara Blanda item di sini?” sambut penonton yang lain.
Setiba di Saidan 2, Gubernur dan isteri disambut dengan pekikan.
“Merdeka!!! merdeka!!! merdeka!!!”
Jalan-jalan di sekitar gedung sudah ditutup dan dijaga ketat oleh pasukan-pasukan Maluku dan tentara pengawal presiden.
“Show of force” ini ada suatu “psychological show” kepada rakyat ibukota revolusi dan para pejuang serta layskar-layskar yang ada di Yogyakarta. Mereka ini pejuang-pejuang serta layskar-layskar Maluku dari front pertempuran. Karena rakyat minta bukti, maka sore hari itu putera-putera Maluku memberi bukti.
Menjelang jam 19.00, telah hadir para pemuka dan inteligensia Maluku seperti Ir. Putuhena (Menteri Pekerjaan Umum), dr. J. Leimena (sebulan kemudian diangkat menjadi Menteri Muda Kesehatan), dr. Picauly, dr Samallo, dr. Siwabessy, dr. Pais, dr. Latupeirissa, dr. Pattirajawane, dr. M. Haulussy, dr. Agustijn, dr. G. Rehatta, Abdul Mutalib Sangadji, A. Tahya, G. Tapiheru, bekas anggota-anggota SA, Kepala-Kepala Kantor Pembantu Gubernur Maluku, J.de Fretes, Rob Akyuwen, Boetje Tahalele, Frans Pattiasina, Alex Hukom, Ds. Thorn Pattiasina, Wim Tutupoly, An Latuasan, Saar Sopacua, Ny. Siwabessy-Poetiray, Kity Manusama.
Datang pula pemuda-pemudi dari Front Surabaya, Bandung Selatan, Bogor, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang, Magelang, Yogya, Solo, Purwokerto, Purworejo, Cilacap, Madiun, Kediri, Mojokerto, Malang, Lawang, Bondowoso dan Palembang.
Juga telah hadir para pemimpin pemuda lain, partai dan badan-badan perjuangan serta para pembesar pemerintahan Maluku, yang dengan gagah berani mempertahankan proklamasi dan membela Republik Indonesia di front depan medan pertempuran.
Beberapa menit sebelum jam 19.00, Presiden Soekarno tiba disambut pekik “merdeka!” dari ratusan mulut.
Resepsi dibuka dengan “Indonesia Raya”, yang dinyanyikan dengan terharu oleh ratusan hadirin.
Gubernur Maluku dalam laporan kepada Presiden secara singkat membentangkan perjuangan putera-putera Maluku dari zaman pergerakan, melalui zaman Jepang, dan proklamasi kemerdekaan hingga saat itu.
Presiden dalam sambutannya menggembleng para hadirin dengan semangat patriotisme berapi-api. Hadirin menyambut dengan tepuk tangan riuh-rendah dan pekik “merdeka”.
Presiden Soekarno menutup pidato dengan kata-kata yang tidak akan dilupakan oleh mereka yang hadir.
“Saya menyatakan terima kasih sebesar-besarnya dan memberi ere-saluut kepada pemuda-pemuda Maluku, yang dengan gagah berani membela Republik Indonesia di semua medan pertempuran”.
Gegap-gempita, riuh-rendah, sorak-sorai, tepuk tangan yang ramai, hadirin berdiri memberi ovasi kepada Presidennya, sebagai tanda terima kasih atas penghargaannya.
Sambutan Presiden itu dicetak dengan huruf-huruf besar di surat-surat kabar “Kedaulatan Rakyat” dan “Nasional” pada hari esok dan dibaca oleh ribuan rakyat. Inilah titik balik bagi penghapusan kecurigaan rakyat terhadap orang-orang Ambon.
Hari kedua, 13 Februari, pagi jam 8.00. Yogyakarta bermandikan sinar surya. Hawa makin panas. Para peserta musyawarah berkumpul di ruang sidang Sayidan 2.
Semangat dan suasana revolusi meliputi hadirin. Di depan gedung pasukan-pasukan rakyat bersimpang-siur. Rakyat berkelompok berdiri menonton seorang Gurkha, yang dibawa oleh pejuang-pejuang
Bandung Selatan.
Orang sudah banyak mendengar melalui radio dan membaca tentang tentara Gurkha. Macam apa orangnya? Nah, di sana dia berdiri, di serambi depan tempat sidang.
Ruang penuh sesak ketika Gubernur Maluku, didampingi Sekretaris J.de Fretes dan pimpinan panitia, mengambil tempat.
Ketua Panitia membuka sidang dengan pekik “merdeka!” lalu menyampaikan selamat datang.
Pimpinan kemudian diserahkan kepada Gubernur Latuharhary. Pagi itu sidang mendengar uraian dan pengarahan dari Gubernur Maluku, sekretaris dan laporan para kepala kantor.
Sore hari, sidang mendengar laporan dari wakil organisasi-organisasi pemuda Maluku, yang didahului oleh laporan Robert Akyuwen mengenai Kongres Pemuda Republik Indonesia yang di dalamnya ia mewakili Pemuda Maluku.
Laporan para kepala kantor dan wakil-wakil pemuda berkisar pada beberapa isu:
(a) Keadaan masyarakat Maluku setempat menghadapi berbagai perkembangan revolusi;
(b) Masalah tahanan orang Maluku di banyak tempat; (c) kegiatan dan perjuangan para pemuda;
(d) keinginan para pemuda bersatu dalam satu saja organisasi pusat yang kuat;
(e) keinginan para pemuda untuk segera memindahkan perjuangan ke daerah Maluku.
Sidang kemudian dibagi dalam seksi-seksi untuk membicarakan masalah politik, sosial, ekonomi dan kepemudaan yang dihadapi masyarakat Maluku. Sampai subuh seksi-seksi bekerja non-stop.
Esoknya, 14 Februari, sidang dimulai dengan perdebatan mengenai organisasi pemuda, dipimpin oleh J. de Fretes dan Rob Akyuwen. Pada waktu pembicaraan mengenai nama organisasi, suasana menjadi panas. API – AMBON Jakarta dan Bandung mempertahankan nama mereka.
PRI-MALUKU dari Jawa Timur tidak mau melepaskan nama mereka. Dua-duanya mempunyai alasan psikologis perjuangan, karena nama mereka telah terkenal luas dalam masyarakat dan di medan pertempuran.
Pemuda-pemuda dari Jawa Tengah lebih condong pada peleburan semua organisasi dalam satu saja wadah dengan satu saja nama. Perdebatan sengit terjadi, adu argumentasi yang pada waktu-waktu tertentu meledak dengan ancam-mengancam, banting-membanting pistol di meja, gertak-menggertak dengan kokang senjata.
Bukan main panasnya watak orang Maluku. Bisa terbakar, nihil. Seram melihat para pejuang yang gondrong, brewok dan berjenggot panjang bersitegang leher. Maklumlah suasana panas di medan pertempuran dibawa oleh pemuda-pemuda yang masih mabuk pertempuran ke dalam ruang sidang.
Darah yang mendidih, lambat laun ditenangkan oleh tokoh-tokoh tua seperti Latuharhary, dr. J. Leimena, Ir. Putuhena, Abdul Mutalib Sangadji, Bram Tahya dan lain-lain.
Akhirnya rasio memperoleh kemenangan atas emosi dan lahirlah dari api perdebatan itu organisasi Pemuda Indonesia Maluku (PIM), berkedudukan di Yogyakarta.
Disetujui pula Anggaran Dasarnya dengan asas tujuan: Kemauan yang luhur dari Pemuda Indonesia Maaluku untuk bersama-sama dengan lain-lain badan pergerakan mempertahankan dan menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia Merdeka.
Sebagai Ketua Umum terpilih J. de Fretes dengan Sekretaris Robert Akyuwen. Juga diputuskan Rob Akyuwen tetap mewakili PIM di dalam BKPRI (Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia).
Rencana kerja yang disusun di dalam musyawarah itu antara lain:
(a) Rencana perjuangan kantor Gubernur Maluku;
(b) Rencana perjuangan pemuda;
(c) Rencana perjuangan ke Maluku.
Beberapa resolusi dihasilkan antara lain:
(a) Pernyataan bahwa masyarakat Maluku berjuang mempertahankan Republik Indonesia.
(b) Menyerukan dan mendesak kepada tentara Sekutu supaya secepat mungkin menarik diri dari dan meninggalkan Indonesia;
(c) Menyerukan pemerintah dan badan-badan perjuangan di berbagai daerah supaya membebaskan orang-orang Maluku yang ditahan.
Musyawarah besar itu ditutup dengan malam ramah-tamah, berdendang dan menari semalam suntuk bersama masyarakat Maluku di Yogyakarta.
Menurut Nanulaitta, Mubes ini merupakan titik batik dalam hal pandangan masyarakat di Jawa dan Sumatera terhadap orang-orang Ambon. Mubes itu merupakan pembulatan tekad dan suatu gerakan persatuan dan kesatuan yang nyata, yang menempatkan Maluku dan rakyatnya untuk selam-lamanya dalam wadah Republik Indonesia, yang merdeka dan berdaulat dari Aceh sampai Merouke.
Kecurigaan, keraguan, sikap waswas timbal-balik, baik di kalangan masyarakat Indonesia umumnya, maupun di kalangan masyarakat Maluku, berubah total, karena Maluku memberi bukti nyata dalam perjuangan mempertahankan Republik Indonesia.
(Diringkas oleh Rudi Fofid dari Buku Mr. Johanes Latuharhary, Hasil Karya dan Pengabdiannya, I.O. Nanulaitta, 2009, dengan tambahan seperlunya)